BATAMHEADLINE – Kandidat calon walikota Batam menjadi salah satu paling menarik di Batam untuk dibahas. Kota Batam sebagai daerah khusus yang memiliki keistimewaan dengan adanya dua lembaga Pemko Batam dan BP Batam, yang sekarang dalam satu kendali Walikota Batam.
Gabungan dua lembaga tersebut memiliki anggaran lebih dari Rp. 7 triliun pertahun. Itu yang membuat Batam seksi untuk diperebutkan. Tapi anehnya hampir tidak ada muncul figur baru yang bakal mencalon Walikota pada Pilkada 2024 ini.
Sejauh ini baru dua nama yang beredar di publik, yakni Marlin Agustina yang saat ini Wakil Gubernur Kepri dan Amsakar Ahmad, Wakil Walikota Batam. Sayangnya ada kecenderungan hampir semua partai dalam kendali Walikota Batam, HM. Rudi yang bakal mencalon gubernur ke depan. Kecuali PDIP yang secara ideologi berseberangan.
Kendaraan politik untuk Marlin Agustina menjadi calon walikota sudah hampir bisa dipastikan, meski mungkin saja ada hal lain yang kemudian bisa menghalangi dia untuk menjadi calon. Yang berat itu buat Amsakar Ahmad, di mana sebagai Ketua DPC Nasdem Kota Batam justru mengundurkan diri dari partainya. Bahkan isu yang berkembang ada skenario dan pengkondisian pilwako Batam dilaksanakan dengan calon tunggal.
Tapi calon tunggal juga bukan tidak beresiko kalah, sebagaimana terjadi di Pilwako Makasar tahun 2018. Di mana calon tunggal kalah oleh kotak kosong dengan suara 53 persen. Hal ini tentu bakal lebih memalukan, namun tidak mungkin terjadi ketika kemuakan masyarakat terhadap figur tersebut memuncak. Resiko lainnya kalau kalah lawan kotak kosong, sang kandidat tidak diperbolehkan mencalonkan kembali pada kompetisi berikutnya. Maka bakal dimunculkan calon boneka.
Skenario inipun bukan tidak beresiko. Kalau ternyata masyarakat lebih memilih calon boneka tersebut? Bukannya seperti pepatah, sudah jatuh tertimpa tangga.
Manusia boleh berencana, Tuhan yang menentukan. Amsakar yang diragukan mendapatkan kendaraan partai politik, kecuali Golkar yang sudah menyatakan itu, bukan tidak mungkin dapat pasangan partai yang tepat. Sayangnya Golkar cuma punya 6 kursi, maka perlu koalisi partai dengan minimal 4 kursi lagi. Di sini hanya ada PKB dengan 4 kursi, sementara PKS yang punya 6 kursi kabarnya lebih berpeluang merapat ke Marlin dan Rudi untuk provinsi dan kota.
Keraguan terhadap Amsakar Ahmad untuk bisa mencalon, muncul setelah baliho Amsakar Ahmad – Irwansyah, yang disingkat Amir bertebaran di setiap sudut kota pasca pilpres dan pileg usai. Sebagai bentuk deklarasi pasangan calon wako dan Wawako Batam melalui jalur independen. Namun setelah 2 bulan berlalu dan penutupan pendaftaran kandidat independen di KPU, ternyata tidak ada pendaftaran dan informasi yang berkembang gerakan independen itu tidak jalan. Makanya muncul keraguan, apakah Amsakar Ahmad bisa mencalonkan diri pada Pilwako Batam.
Tentu akan muncul pertanyaan, di mana posisi PDIP yang punya 7 kursi? Partai berlambang kepala banteng itu tidak memiliki figur kader yang kuat untuk calon walikota atau mengambil figur di luar kader, dan lebih berpeluang untuk calon wakil walikota. Itupun kalau ada bargaining kuat terhadap kandidat yang sudah ada, terutama untuk merapat ke Marlin Agustina.
Bisa juga PDIP mengusung pasangan sendiri kalau mampu menggandeng partai lain untuk berkoalisi. Dengan 7 kursi, PDIP hanya perlu 3 kursi lagi. Sisa partai ada PAN dengan 3 kursi, Demokrat dengan 2 kursi, Hanura dengan 2 kursi, PPP, PSI dan PKN masing-masing 1 kursi. Persoalannya, sejauh mana peluang untuk bisa memenangkan kontestasi, bukan sekadar menjadi penggembira bahkan pelengkap. Maka itu, PDIP harus mampu mampu membangun nilai tawar dan nilai bargaining. Perlu strategi dan skenario khusus untuk itu.
Pertarungan politik sesungguhnya bukan semata pada kualitas dan elektabilitas kandidat, tapi lebih pada kemampuan membeli perahu, dan isi tas. Momen pilkada adalah momentum partai untuk panen setelah pileg yang menguras kantong. Persoalan pendanaan itu pula yang menjadi kendala pergerakan politik Amsakar Ahmad selama ini, termasuk kandidat lain yang bermimpi pengen maju sekedar jadi Cawawako.
Penulis: Tain Komari, Ketua Kelompok Diskusi Anti 86 (KODAT 86)